Rabu, 17 Juni 2009

CERPEN

OLEH : FANI FAUZIYAH

LAMUNANKU......

Starbucks adalah salah satu tempat ngopi favoritku. Seperti sore ini aku habiskan waktu soreku di café ini untuk menunggu temanku, Farida. Kami berencana membuat susunan acara untuk sebuah kegiatan di kampus kami. Baru 5 menit menunggu rasanya sudah bosan saja, apalagi cappuccino pesananku belum juga datang. Akhirnya aku teringat salah satu tugasku yang harus dikumpulkan lusa. Aku sengaja memilih tempat duduk dipojokan karena sofanya dibuat mengikuti sudut ruangan. Belum lagi posisinya yang dekat dengan jendela sehingga aku bisa melihat pemandangan di jalanan, yang tentu saja banyak memberi inspirasi untuk cerpen-cerpen yang aku buat.

Sebelum aku mengeluarkan laptopku, mataku tertarik ke salah satu bagian di luar café. Di sebuah lampu merah aku melihat dua orang anak kecil, si kakak yang kira-kira berumur 10 tahun menggendong adiknya yang mungkin baru berumur 2 tahun. Miris rasanya melihat mereka menadahkan tangan ke setiap mobil yang berhenti di lampu merah. Tapi sayangnya tak satupun dari mobil-mobil itu mau membuka jendela dan memberikan sepeser uangnya. Tiba-tiba saja aku melihat si kakak mulai resah berusaha menenangkan adiknya yang mulai meronta-ronta. Mungkin sudah berhari-hari mereka tidak makan, ditambah lagi cuaca yang panas, keringnya tenggorokan sudah bisa kubayangkan. Ketika itu seorang ibu menghampiri anak tersebut dan membawa adiknya pergi, tidak lupa si kakak memberikan setumpuk recehan pada si ibu. Mungkin itu ibu mereka yang entah mengapa tega mempekerjakan mereka seperti itu. Kupikir selesailah pekerjaan si kakak, tapi ternyata dia melanjutkan pekerjaan lain. Dengan sebuah gitar dia mulai menghampiri mobil-mobil yang berhenti di lampu merah itu lagi.

Aku memalingkan wajah dan berusaha konsentrasi pada tugasku. Baru satu paragraf ku kerjakan, tiba-tiba sekelompok gadis muda berseragam sma datang sambil tertawa-tawa dan duduk 2 meja di sampingku. Mereka ada empat orang, semuanya sama, rok diatas lutut kaos kaki hampir mendekati betis dan kemeja super ketat. Yang bisa aku pastikan dengan mengangkat tangan sedikit saja pusar mereka bisa terlihat kemana-mana. Semuanya terlihat manis dan belia, yang satu berambut panjang dan dikucir dengan poni miring. Yang satu lagi rambut sebahu ala BCL, dan dua orang lainnya berambut pendek seperti Agnes Monica.

Pembicaraan merekapun dimulai oleh salah satu gadis yang berambut panjang.

”Nanti malem kita jadi pergi dugem Ta?”

Pertanyaan tersebut di jawab oleh gadis berambut Agnes Monica yang berbando hijau.

”Jadilah, masa iya gak? Gila ya, gw udah prepare tau gak sih lo? Kemaren gw uda beli tank top baru gitu. Sumpah lucu banget, warnanya putih gitu, ada manik-maniknya di dada gw. Keren gila”. Cara bicara mereka yang gaul itu hampir membuatku tertawa, namun aku hanya bisa tersenyum. Pesananku dan pesanan mereka datang bersamaan. Ketika pesanan sampai di meja mereka salah satu diantaranya meminta asbak. Entah kenapa meskipun ini smoking area aku selalu memilih pojokan ini bila tempatnya kebetulan kosong. Padahal aku sangat membenci asap rokok.

Ketika asbak datang, bisa kulirik gadis yang berambut sebahu mulai menyalakan sebatang rokok dan berbicara pada teman-temannya.

”Lo pikir gw gak prepare apa? Gw juga udah siapin baju. Lagian gw udah janjian sama si Deri buat ketemuan di sana”.

”Eh sumpah lo? Deri mana? Yang temennya si Rafy itu?”

“Iya, emang kenapa?”

“Waaah parah lo. Si Rafy kan ngehamilin si Prita. Lo tau gak? Yang anak Jakarta itu. Ati-ati aja lo sama si Deri, jangan-jangan dia gitu juga lagi”.

“Hahahha”, mereka tertawa terbahak-bahak.

Astagfirullah. Pembicaraan mereka membuatku merasa de javu akan masa sma ku. Aku dulu tidak jauh seperti mereka-mereka itu, dugem, rokok, alkohol, bahkan free sex merupakan kehidupan yang dekat denganku. Aku mulai dekat dengan hal-hal mengerikan itu ketika ibuku meninggal saat aku kelas 3 smp dan kemudian ayahku menikah lagi ketika aku kelas 2 sma. Kurasa belum kering benar air mataku atas kepergian ibuku, tapi mengapa ayahku sudah bersanding dengan wanita lain. Rasanya tidak adil bagiku dan bagi ibuku. Aku merasa kesepian, kebencianku akan ibu tiriku dan keadaanku yang anak tunggal ini membuatku mencari perhatian di luar rumah.

Teman-teman satu kelasku, Arni, Rita dan Dewi seolah mengerti kesedihanku. Mereka mengajakku pergi dugem setiap malam. Awalnya aku merasa risih akan tempat-tempat seperti itu. Namun lama-kelamaan tidak terasa semua tempat dugem yang ada di Bandung telah kami jelajahi. Dari yang murah sampai yang mahal, dari yang dangdutan sampai DJ terkenal. Semuanya sama, menyuguhkan hingar bingar yang membuatku bisa melupakan sejenak kegundahan hatiku. Dan pemandangan yang sama, berpasang-pasang muda-mudi yang asik bercumbu dipojokan seperti tidak punya malu lagi. Aurat-aurat dipertontonkan seperti tidak mengenal norma lagi. Dan ironisnya aku pernah menjadi salah satunya. Jika aku masuk pukul 11 malam, aku baru pulang sekitar pukul 3. Terkadang aku tidak pulang ke rumah, tapi menginap di salah satu rumah mereka.

Aku tidak peduli lagi amarah ayahku, nilai-nilai yang jeblok dan teguran dari pihak sekolah. Semakin ayahku menasihatiku dan ibu tiriku mengingatkanku, semakin aku melupakan rumahku. Suatu hari aku memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal di tempat Dewi yang kebetulan dia kost. Kulihat uang di tabunganku, hanya tinggal lima ratus ribu rupiah saja, entah berapa lama aku bisa bertahan dengan uang sebesar itu. Tapi lagi-lagi aku tidak peduli. Yang penting hatiku senang.

Seperti biasa, malam minggu malam yang paling tepat untuk dugem. Pengunjungnya ramai dan aku bisa bertemu Opik. Sebenarnya aku tidak mengerti arti kedekatan kami, tidak pernah ada komitmen atau pembicaraan mengenai status kami. Yang penting kami merasa nyaman satu sama lain. Malam itu Opik mengajakku kelantai dansa, sebelum beranjak dari kursiku aku meneguk minuman di gelasku. Kami berjoget dengan asiknya, tak mempedulikan orang-orang disekitar kami. Opik mulai mendekatkan tubuhnya ketubuhku, dia mulai memeluk pinggangku. Aku sama sekali tidak merasa risih, malah aku mengalungkan tanganku dilehernya. Wajahnya mulai didekatkan kewajahku, dan dia mencium bibirku. Lagi-lagi aku merasa biasa saja, bukan karena Opik pria yang aku sukai, tapi karena aku merasa nyaman melakukannya. Dia meraba-raba tubuhku dan membisikkan sesuatu ditelingaku yang membuatku mual jika aku mengingatnya sekarang.

Dia berkata,

”Malem ini nginep di tempat gw yuk?”, belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Dewi menghampiriku dengan mulut bau alkohol.

”Tari, balik yoo. Tuuh si Arni muntah-muntah gak tau kenapa. Muntahnya kemana-mana, sampe kena bajunya Rita”. Dengan lemah Dewi menarikku dari pelukan Opik. Opik hanya tersenyum dan sebelum pergi dia mencium pipiku. Aku hanya bisa berkata ”Sorry ya Pik, gw mesti cabut”, dan Opik hanya mengangguk kemudian asyik berjoget dengan perempuan lain.

Sesampainya diparkiran aku melihat Arni masih muntah-muntah di kursi penumpang dengan keresek di tangan.

”Aakh lama lo pade, bau ni baju gw kena muntahan si Arni. Buru masuk”, dengan kesal Rita duduk di kursi sopir dan menutup pintu dengan enggan.

“Ta, lo yakin mau nyetir? Biar gw aja, kayaknya lo minum banyak banget deh”, aku merasa tidak yakin Rita dapat membawa mobil dengan benar. Melihat Arni yang muntah-muntah dan Dewi yang langsung terlelap ketika memasuki mobil, aku rasa hanyalah aku yang masih cukup sadar untuk menyetir.

“Aduh diem lu akh bawel, kaya gak tau aja gw udah profesional. Udah tenang aja lo di belakang situ”. Rita berusaha menenangkanku yang sama sekali tidak membuat aku tenang. Kutengok Arni di kursi depan, wajahnya terlihat pucat dan keringat dingin membanjiri wajahnya. Kuambil tisyu dan ku elap keringatnya,

“Ni, lo gak apa-apa kan? Lo kenapa?”, seketika kekhawatiran yang belum pernah kurasakan menghinggapi diriku. Arni hanya menggelengkan kepala tanpa kata.

Aku mundur dan bersandar di kursi belakang tepat di belakang Arni. Mesin mobil mulai menyala, sempat kulirik jam di dashboard dan ternyata ini pukul 1 malam. Aku mulai memejamkan mata ketika mobil memasuki pintu tol. Namun, entah kenapa aku tidak bisa tertidur. Perasaanku tidak tenang, Rita mengendarai mobil dengan kecepatan hampir mendekati 120 km/jam. Aku tidak ingin berbicara sedikitpun, meskipun untuk mengingatkan Rita masalah kecepatannya mengendarai mobil. Dalam keadaan sadar saja menyetir perlu konsentrasi apalagi dalam keadaan mabuk seperti itu.

Aku memutuskan untuk mengalihkan perhatianku kejalanan, namun yang bisa kulihat hanyalah kegelapan. Kekhawatiran itu tidak juga hilang sampai,

”aaaaaaaaaa...”,,

Braaaak..

Entah darimana bunyi hantaman yang keras itu, kepalaku pusing entah terbentur apa. Suara klakson yang tidak mau berhenti memekkan telingaku, membuatku semakin tidak bisa berfikir. Pelan-pelan kubuka mataku, samar-samar tak dapat kulihat dengan jelas keadaan sekitarku. Ada lampu yang menyorot mataku dan cairan ini entah apa hingga membuat mataku sulit terbuka. Aku mendengar erangan dari kursi depan dan aku ingat itu Arni. Rasanya aku ingin memanggilnya tapi suaraku tercekat, tak bisa keluar. Kucoba pegang kepalaku yang pening itu namun terasa sangat basah ditanganku, ketika kulihat kusadari bahwa cairan itu adalah darah. Darah yang mengucur dari kepalaku. Aku menangis, tersengal-sengal aku mencoba menyadari apa yang terjadi. Kulirik disamping kananku, Dewi tidak bergerak sama sekali, kugoyangkan tubuhnya namun ia tidak bergeming. Aku melihat kearah Rita, entah seperti apa dia, tubuhnya terjepit stir dan sama seperti Dewi, dia tidak bergerak sama sekali.

Ingin aku menjerit meminta tolong, tapi suaraku entah hilang kemana. Erangan itu masih saja terdengar hingga akhirnya aku tidak sadarkan diri.

***

Perlahan-lahan aku membuka mataku, berkunang-kunang dan silau karena cahaya lampu. Kulihat sesosok tubuh di depanku, dia seorang wanita berpakaian serba putih. Berwajah lembut menenangkan dan berjilbab putih rapih. Semakin aku berkonsentrasi maka semakin jelas itu adalah ibuku. Dia hanya tersenyum dan berkata padaku,

”Sayang, ingatlah Alloh sebelum semuanya terlambat”, lalu perlahan-lahan ia pergi meninggalkanku. Air mataku menetes dan beristigfarlah aku. Kata yang sebelumnya terlupakan bahkan siapa Alloh saja aku tidak pernah ingat. Aku menangis, menangis hingga nafasku sesak. Ingin kuhapus air mataku, namun tanganku tak sanggup ku angkat, ingin aku bangkit mengejar ibuku tapi badanku tak mau bergerak sedikitpun. Tiba-tiba pintu terbuka dan ayahku menghampiriku penuh haru,

”Alhamdullillah, Tari kamu sudah sadar”, dengan air mata di pipinya dia mencium keningku. Air mataku semakin deras mengalir. Dengan lirih aku bertanya,

”Aku kenapa Pah?”

”Kamu kecelakaan sayang. Mobil yang dikendarai Rita melintas trotoar sehingga tertabrak truk yang sedang melaju dari arah berlawanan”.

”Terus temen-temenku kemana?”, air mata itu semakin tak tertahan ketika aku mengingat cahaya lampu itu, erangan itu dan wajah Dewi yang kaku.

”Rita dan Dewi meninggal sayang, sedangkan Arni dia dibawa orang tuanya pulang ke Jakarta. Dia dirawat disana dan dia sedang mengandung 2 bulan Kamu yang sabar ya sayang. Kamu doakan semoga mereka bisa diterima di sisi Alloh”, kata-kata itu seolah hantaman yang besar di dadaku. Aku tak tahu harus berbuat apa, tetapi ketika kuingat ibuku, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Beristigfarlah aku. Seketika itu kurasakan kesejukan menghampiri dadaku.

Hari demi hari kulalui di rumah sakit, ternyata lengan kananku patah dan kepalaku robek hingga 15 jaitan. Teman-teman dan saudaraku datang menjengukku. Teman dan saudara yang tidak pernah aku anggap ada ternyata merekalah yang selalu ada disampingku. Bukan teman-teman dugemku, bahkan bukan Opik. Aku bersyukur aku tidak pernah mengiyakan ajaknnya. Jika mengingat hal itu menetes lagilah air mataku.

Ayah dan ibu tiriku bergantian menjagaku siang dan malam. Aku baru menyadari bahwa ayah dan ibu tiriku tak pernah meninggalkanku sedikitpun justru akulah yang meninggalkannya. Dan Alloh, betapa sayangnya Ia padaku, masih memberikanku kesempatan untuk mengingat-Nya lagi. Aku melihat ibu tiriku sedang solat, dan melihat hal tersebut, aku merasakan kerinduan yang amat sangat. Kerinduan akan Sang Pencipta yang Maha Pengasih dan maha Penyayang.

”Ma, aku mau solat”, ibu tersenyum padaku. Lantas ia memakaikan mukena padaku. Meskipun terbaring, meskipun hanya kedipan, namun Alloh mengerti apa yang ada dalam hatiku. Tanpa bisa kukendalikan air mata menetes dipipiku dan dalam hati aku berdoa,

Ya Alloh, ampunilah aku. Ampuni hamba-Mu yang hina ini. Hamba-Mu yang tak punya daya apapun, kecuali atas kuasa-Mu. Ya Alloh ampunilah aku, aku berjanji tak akan pernah melupakan-Mu lagi walau sebentarpun.

***

Kejadian itu memang 3 tahun yang lalu tapi menjadi titik balik dalam hidupku, namun dengan mengingatnya aku akan selalu sadar bahwa Alloh sangat menyayangiku. Lamunanku buyar ketika Farida datang dengan tergopoh-gopoh.

”Assalamu’alaikum ukhti”, Farida menyalamiku dan mencium kedua pipiku.

”Maaf ukhti aku terlambat, tadi dosennya lama keluarnya. Kita langsung bahas aja yuk, biar gak buang-buang waktu”.

”Wa’alaikumsalam, belum dijawab sudah mau mulai saja. Semangat sekali ukhti Farida ini. Gak pesen minuman dulu?”, sambil tersenyum aku memandangi Farida yang berpeluh keringat. Wajah manisnya terbungkus rapih dalam balutan kerudung merah mudanya.

”Gak akh, gak usah”.

”Aakh udah, kamu tunggu di sini, hari ini biar aku yang traktir”, aku berdiri dan sebelum Farida sempat menolak aku melihat kearahnya dan menggoyangkan telunjukku tanda ia tidak bisa melawanku.

Ketika aku sedang memesan lagi-lagi pandanganku tertuju ke arah lampu merah. Gadis kecil itu masih di sana.

”Mas espresso nya dianter kemeja no 10 aja ya. Yang ada mbak pake kerudung pink. Makasih ya Mas”, pegawai itupun tersenyum padaku.

Aku memutuskan keluar cafe dan masuk ke sebuah toko roti. Aku membeli beberapa macam roti dan donat. Ku hampiri gadis kecil itu. Pakaiannya begitu lusuh, wajahnya lelah luar biasa. Aku tak tega menatapnya lebih lama.

“Sayang, nama kamu siapa?”, bahunya yang ringkih kutepuk halus. Rasanya jika ia hanya kerangka maka bisa robohlah ia.

“Rissa kak”, ia menengok ke arahku. Bisa kupandang matanya yang sendu, wajah yang berpeluh dan senyumnya yang pudar. Aku tersenyum padanya dan menyodorkan roti-roti yang aku beli.

”Rissa, ini buat kamu. Kasih adiknya juga ya”, wajahnya berubah sumringah. Matanya berbinar bahagia, ia mencium tanganku dan berkata,

“Makasih, Kak”, lalu ia berlari menghampiri ibu dan adiknya yang sedang berteduh di bawah pohon. Sempat terdengar sedikit percakapan mereka,

“Dari siapa Ris?”, ibunya bertanya dengan heran.

”Itu dari kakak yang berkerudung hijau itu”, ia menunjuk ke arahku dan aku tersenyum pada si ibu. Ibu itu hanya membalas senyumku dan menganggukan kepala.

Aku kembali ke cafe dan menghampiri Farida yang sudah mulai dengan pekerjaannya.

”Eh udah mulai aja, istirahat dulu situ, minum kopinya”, Farida hanya tersenyum dan masih saja mengerjakan susunan acara tersebut. Sebelum duduk sempat kulirik gadis-gadis sma itu. Mereka masih saja sibuk tertawa-tawa dengan rokok di tangan mereka.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar